24 November 2010

Karakterstik yang mempengaruhi Bisnis Internasional

Faktor – faktor Asing yang Mempengaruhi Bisnis Internasional :

Ada 10 faktor yang mempengaruhi Bisnis Internasional,yaitu.:
1. Kompetitif : jenis dan jumlah pesaing , lokasi dan kegiatan mereka

2. Distributif  : agen nasional dan internasional yang tersedia untuk mendistribusikan barang dan jasa.

3. Variabel ekonomi : GNP, biaya buruh perunit, dan pengeluaran konsumsi pribadi  yang mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk melakukan bisnis. 

4. Sosioekonomi : karakteristik dan distribusi populasi manusia. 

5. Keuangan : variable spt sukubunga, tingkat inflasi, perpajakan,

6. Legal : jenis hukum asing dan domestik yang beragam dan harus dipatuhi oleh perusahaan internasional. 

7. Fisik : unsur alam spt topografi, Iklim dan sumber alam

8. Politik : elemen politik bangsa spt nasionalisme, bentuk   pemerintahan, dan organisasi Internasional

9. Sosiokultural : sikap, kepercayaan, pendidikan, dll    

10. Buruh/Tenaga Kerja : komposisi, keahlian

11. Teknologi : keahlian dan peralatan teknis yang mempengaruhi bagaimana sumber sumber diubah menjadi produk.

Ada juga tiga faktor dari hubungan ekonominya:

Pertama, “hubungan ekonomi” bisa berupa pertukaran hasil atau output negara satu dengan negara lain. Sebagai contoh, In donesia mengekspor minyak, kayu, karet, hasil kerajinan, menjual jasa angkutan penerbangan Garuda dan jasa turisme kepada orang asing, dan mengimpor beras, gandum, bijih besi, bahan plastik, benang tenun, jasa angkutan laut dan angkutan udara dan jasa turisme (misalnya, package tour bagi orang Indonesia ke Singapura, Hongkong dan sebagainya). Hubungan semacam dikenal sebagai hubungan perdagangan. Perhatikan bahwa yang dimaksud dengan “output” termasuk di dalamnya output “barang” dan output “jasa”.
Kedua, hubungan ekonomi bisa berbentuk pertukaran atau aliran sarana produksi (atau faktor produksi). Termasuk dalam kelompok sarana produksi adalah tenaga kerja, modal, teknoogi dan kewiraswastaan. Sarana produksi bisa “mengalir” dari satu negara ke negara lain karena berbagai sebab, misalnya karena imbalan yang lebih tinggi, karena lewat program bantuan luar negeri, dan karena adanya faktor “ketakutan” (misalnya* ancaman perang, takut dinasionalisasi, takut adanya devaluasi atau karena menghindari inflasi yang terlalu tinggi di suatu negara). Sarana produksi “tanah” merupakan satu-satunya sarana produksi yang tidak bisa mengalir ke negara lain, karena sifatnya yang terikat pada lokasinya. Tetapi bahkan” “tanah” pun tidak mutlak terikat pada lokasinya, bila kita ingat bahwa definisi dari sarana produksi “tanah” mencakup kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Kita mengekspor bijih nikel, bijih tembaga dan barang-barang tambang lainnya. Di sini kita bisa mempertanyakan apakah barang ekspor ini lebih bersifat “faktor produksi” ataukah “output”. Tetapi ini memang sesuatu yang masih bisa diperdebatkan: dari satu segi bijih nikel atau bijih tembaga bisa dipandang sebagai output, tetapi dari segi lain bisa dianggap sebagai faktor produksi. Sebaliknya, tenaga kerja atau “manusia” yang pada hakekatnya lebih bersifat mobil dan tak terikat lokasi, seringkali justru menjadi suatu faktor produksi yang tidak bisa (atau tidak selalu bisa) mengalir dari satu negara ke negara lain.
Peraturan-peraturan pembatasan imigrasi antar negara seringkali begitu ketatnya sehingga tidak memungkinkan bagi manusia untuk secara bebas pindah ke negara lain. Namun masih ada contoh-contoh yang menggambarkan aliran faktor produksi ini, misalnya pengiriman tenaga kerja Indonesia ke Saudi Arabia, Malaysia untuk bekerja di proyek-proyek pembangunan atau di tempat-tempat lain di sana.
Saat ini, yang paling mobil atau mudah berpindah melampaui perbatasan negara adalah faktor produksi modal (beserta teknologi dan kewiraswastaan yang mengikutinya). Modal, berupa penanaman modal asing atau bantuan/pinjaman luar negeri, mengalir dalam jumlah yang besar dari satu negara ke negara lain, baik antara negara maju sendiri atau antara negara maju dengan negara sedang berkembang.
Yang tidak kalah pentingnya adalah aliran dana antar negara yang tidak bermotif atau bertujuan untuk investasi dalam bentuk pendirian pabrik-pabrik, tetapi yang bertujuan spekulatif dan bersifat jangka pendek. Jadi, misalnya pada awal tahun 1970-an dana dalam jumlah yang cukup besar telah mengalir dari Singapura dan tempat-tempat lain di luar negeri ke Indonesia untuk kemudian disimpan pada bank-bank dalam ben tuk deposito berjangka yang pada waktu itu memberikan bunga yang sangat tinggi. Karena sifatnya yang spekulatif dan jangka pendek, kita bisa memperdebatkan apakah aliran dana semacam ini adalah aliran faktor produksi atau bukan.
Tetapi meskipun kasus-kasus yang kabur seperti ini memang ada, secara garis besar masih penting dan berguna bags kita untuk membedakan antara aliran faktor produksi dan aliran-aliran lain, misalnya aliran output, karena masing-masing aliran mempunyai konsekuensi yang berbeda bagi suatu negara.
Ketiga, seperti halnya dengan hubungan ekonomi antara perorangan, hubungan ekonomi antara negara bisa dilihat dari segi konsekuensinya terhadap posisi hutang-piutangnya, atau singkat-nya dari segi hubungan kreditnya. Seperti halnya dengan hubungan antar perorangan, suatu negara bisa mempunyai hutang atau piutang dengan negara lain. Biasanya hubungan hutang-piutang ini timbul sebagai konsekuensi dari adanya dua bentuk hubungan ekonomi yang lain, yaitu “hubungan perdagangan” dan “hubungan faktor produksi” yang diuraikan di atas. Sebagai misal, Indonesia mengimpor kapal dari Jepang dengan kredit dari penjualnya. Di sini hubungan perdagangan (impor kapal) adalah penyebab timbulnya hutang Indonesia kepada pengusaha kapal di Jepang. Contoh lain adalah pembelian gandum dari Amerika Serikat atas dasar penjan-jian bantuan pangan (sering disebut dengan nama bantuan PL-480). Juga di sini, hubungan perdagangan (impor gandum) menimbulkan hutang Indonesia kepada pemerintah Amerika Serikat

No comments:

Post a Comment